Pelajaran dari Kepingan Benua Biru: Prancis
Pengantar
Sebelum mengulas pelajaran yang dihimpun
dari tiga hari melawat ke kota Paris, Prancis, kampungnya Albert Camus novelis beraliran absurd, izinkan penulis mengisahkan
sebuah frase: “benua biru”. Beberapa media
menyematkan “benua biru” untuk merujuk benua Eropa. Disebabkan oleh rasa ingin
tahu inilah, saya berselancar ke beberapa situs untuk menemukan jawaban,
benarkah Eropa disebut benua biru? Ternyata
tidak ada sumber sahih
yang menerangkan mengapa Eropa dikatakan benua biru, karena ternyata praduga belaka mulai dari
asumsi tentang banyaknya kerajaan yang dianggap berdarah “biru” hingga dugaan
bahwa manusia dengan ras kaukasoid itu mayoritas bermata biru. Akhirnya penulis menambatkan diri pada
kenyataan bahwa mengapa benua Eropa identik dengan warna biru karena ia melambangkan masyarakat Eropa yang
menginternasional.
Untuk itu, judul tulisan ini
tetap menggunakan frasa benua biru. Ia dipilih bukan secara taklid buta melainkan dengan kesadaran dan
keyakinan penuh bahwa benua ini ingin dikenal secara internasional sebagai
komunitas yang satu “Eropa”, bukan karena kekastaan (raja) ataupun keragaan
(mata biru).
Kisah Pelajaran
Pengalaman
adalah guru terbaik. Peribahasa ini
akan
lebih baik jika dimanifestasikan dalam
keseharian; bukan
sebatas wacana walaupun bukan pekerjaan mudah. Setidaknya ibda’ binafsiy [mulai dari diri sendiri]. Manusia diciptakan oleh Yang
Mahacipta, Rabbul ‘alamin dengan
kemampuan untuk beradaptasi; seperti
kata pepatah di mana
bumi dipijak di situ
langit dijunjung. Namun,
ternyata kadar adaptasi tiap-tiap
orang berlainan. Menjadi seorang asing di negeri asing tentulah harus berbekal.
Dan sebaik-baik bekal adalah takwa dan peta. Dengan
modal peta inilah, jika tak ingin tersesat tentunya; penulis bersama tim kerja menentukan
ke mana arah tujuan yang akan kita
capai: menjejak di bumi Paris [bukan van java tapi van Europa]. Dalam
perjalanan kerja dari hebergement menuju INALCO, peristiwa demi peristiwa teralami dan
beberapa snapshot yang penulis kumpulkan ini setidaknya, tak penulis
temukan di negara Thailand, Laos atau pun Malaysia. Lima pelajaran itu adalah
sebagai berikut. Pertama,
penulis tiba di bandara internasional Charles de Gaulle [CDG,
baca:/sédégé/]. Setelah
memeriksa dokumen perjalanan penulis, petugas
imigrasi mengucapkan “Assalaamu’alaikum” karena
keyakinannya bahwa “expat” yang ditemuinya adalah muslimah dari negara Asia
dengan menampakkan jati dirinya sebagaimana tersurat dalam Al Furqon surat Al
Ahzab ayat 59 yang artinya: ...dan
yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak diganggu. Dan Allah adalah maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Kami pun
serempak menjawab: “wa’alaikumussalaam”.
Kedua, untuk menghindari
makanan yang tidak cocok di lidah Asia, penulis memilih restoran cepat
saji yang juga bertebaran di Jakarta/Indonesia M*D [baca:me*di] di Prancis dibaca [me*do:] yang
menyediakan burger sebagai menu utama, jadi jangan bayangkan nasi apalagi ayam
goreng a la fried chicken. Selesai
memilih menu burger dengan fillet au fish,
atau isi filet ikan; dengan
tertib kami menaruh peralatan makan yang telah selesai kami gunakan serta sisa
makanan yang ada didalamnya di
meja yang bertuliskan “silakan letakkan bekas makan Anda disini”. Di M*D Jakarta tak perlu berinisiatif membuang
sisa makanan kita karena ada mas-mas atau mbak-mbak petugas layanan kebersihan
yang sigap merapikan semuanya.
Ketiga, saat berjalan menuju
stasiun kereta, [Métro de Paris] rutenya melewati
beberapa eskalator, semua orang
berdiri rapi di bagian kanan eskalator
itu,
sementara bagian kiri dibiarkan kosong untuk memberi kesempatan kepada mereka yang bergegas untuk
berjalan mendahului;
dan sesekali ada orang bergegas berjalan mendahului dari lajur kiri. Saya tidak menemukan peraturan
tertulis di dinding eskalator
misalnya,”silakan berdiri pada lajur kanan”. Namun ini terlaksana dengan baik
lazimnya telah terinternalisasi sebagai adab
yang patut dicontoh dari masyarakat ini. Keempat, kangen dengan Carrefour [baca: /kar-fur/] atau mal pada umumnya? Ya, kami pun
berkunjung ke pusat perbelanjaan retail asal Prancis itu. Sesaat setelah membayar
belanjaan, kasir membiarkan pelanggannya memasukkan sendiri barang belanjaan ke
kantong yang dibawa sendiri atau
dibelinya di kasir. Terhadap hal ini,
kami berterima kasih kepada kasir di Indonesia yang dengan ramah
memasukkan semua belanjaan kita ke dalam
kantong plastik dengan rapi. Two
thumbs up. Walaupun demikian,
kita jadi belajar untuk bertanggung jawab atas apa yang telah kita beli; sehingga jika ada yang ketinggalan, kita dapat mengklaimnya saat itu
juga ketika masih di depan kasir, sehingga tak
ada penyesalan saat tiba di rumah.
Kelima, menurut data per 1
Januari 2013,
jumlah penduduk Prancis 65,8 juta jiwa. Dari jumlah itu, 16,4 % berusia di atas 65 tahun. Usia harapan hidup bagi penduduk pria adalah 78,2 tahun sedangkan wanita 84,9 tahun. Sementara itu, rata-rata usia harapan hidup adalah 81,09 tahun. Tak heran jika menggunakan saran transportasi umum, bus atau
Métro, kita akan sering melihat orang tua
[kakek-nenek] berusia di atas 60 tahun naik-turun transportasi umum. Pernah melihat ibu hamil atau orang
tua naik bus atau kereta api? Jika itu terjadi di Jakarta, penulis mempunyai pengalaman saat hamil, yakni berkendara dengan moda kereta api. Inisiatif
dari penumpang lain untuk mempersilakan duduk bagi orang tua dan ibu hamil
tidak serta merta dan otomatis berdiri untuk menyilakan manusia berkebutuhan khusus
untuk duduk. Namun,
di Paris saya menemui jiwa “itsaar” yang diajarkan Rasulullah ‘alayhi sholaatu
wassalaam untuk mendahulukan orang lain, dalam hal ini manusia yang lebih
memerlukan perlindungan: orang tua, ibu hamil dan anak-anak. Segera setelah orang
tua naik ke dalam bus, seorang
anak muda yang duduk terdekat dengannya
langsung berdiri, subhanallah.
Penutup
Mengambil ilmu dari negeri orang; jika itu baik, kita harus berbesar hati menerima
kebaikan yang tak ada pada diri kita, mulailah berubah. Bersemangat menuntut
ilmu, tak ada kata terlambat dalam menimbanya. Mengutip perkataan Imam Syafi’i
Rahimahullah: “Siapa yang kehilangan waktu
belajar pada waktu mudanya; takbirkan dia empat kali.
Manusia
yang masih memiliki harapan adalah manusia
yang optimistis
menatap masa depan, agar lebih baik daripada
hari ini dan kemarin, seperti
yang termaktub dalam kalaamullah surah Ar ra’d ayat 11:”Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang
mengubah apa-apa
yang pada diri mereka.”
Jikalau tak sekarang belajar berubah menjadi lebih baik, kapan lagi, jika bukan
dari diri sendiri, siapa lagi yang akan memulai, ayo berhijrah!.
Bahan Rujukan
Neneng Tsani*)
*) Staf PPPPTK Bahasa
Komentar
Posting Komentar